Kebudayaan Lubai
Pengertian :
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Kalau kita berbicara tentang suku bangsa Lubai dan Kebudayaannya, maka sama halnya dengan berbicara tentang banyaknya suku bangsa lain di Sumatera Selatan, kita todal dapat mengabaikan perubahan yang telah menghilangkan homogenitas yang pernah ada. Apa yang dahulu dianggap sebagai daerah kebudayaan Lubai, sekarang mungkin telah banyak kemasukan unsur lain. Tidak setiap penduduknya dapat dianggap sebagai pemangku kebudayaan Lubai, akan tetapi sebaliknya tidak setiap orang yang dilahirkan oleh orangtua Lubai dapat disebut pendukung kebudayaan Lubai, terutama jika mereka dibesarkan diluar daerah kebudayaan Lubai.
Daerah asal kebudayaan Lubai tradisional adalah kira-kira seluas daerah Kecamatan Lubai Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi dalam pandangan orang Lubai sendiri, daerah kebudayaan Lubai adalah orang-orang yang berdomisili sepanjang Daerah Aliran Sungai Lubai. Pada umunya orang Lubai berusaha menghubungkan asal-usul mereka dengan suatu tempat tertentu, yaitu dari Kampung Persa di Muara Lubai dekat Sungai Rambang. Hal ini mungkin dapat dihubungkan dengan dongeng tentang Puyang Tujuh Serampu " Puyang tujuh bersaudara, 6 laki-laki dan 1 prempuan. Dalam kontek legenda tandi, dengan desa-desa tua di Lubai sebanyak 7 desa yaitu : Desa Tanjung Kemala, Desa Gunung Raja, Desa Kurungan Jiwa, Desa Pagar Gunung, Desa Beringin, Desa Pagar Dewa, Desa Karang Agung seakan memperkuat bahwa orang Lubai berasal dari Kampung Persa.
Peralatan dan Perlengkapan Hidup :
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat Lubai yang merupakan masyarakat pedesaan yang sebagai besar hidup dari pertanian mempunyai peralatan dan perlengkapan hidup :
Alat-alat produktif : yang dipergunakan untuk memotong pohon : Gergaji, Golok ”pisau”, Golok besar ”pisau kampalan”, Beliung; Alat untuk mengali tanah ; Tembilang ”linggis” Cangkul ”sehekop”; Alat untuk memotong rumput : Tengkuit; Alat memecah dan menumbuk padi : Isaran dan Lesung; Alat untuk menangkap ikan : Bubu, Jala ”jale”, Jaring ”pukat”, Gabul dan Sehekap. Catatan : Golok (kadang-kadang juga dieja Gulok atau Gollock) adalah nama yang diberikan kepada sejumlah besar pisau dan pendek pedang yang berasal dari Asia Tenggara, terutama dari Indonesia dan Filipina. Ukuran dan bobot bervariasi, seperti halnya pisau bentuk. Mereka cenderung lebih berat dan lebih pendek dari golok, sering digunakan untuk memotong semak dan cabang. Memiliki baik menggiling primer atau lancip dgn sisinya ke depan, yang Golok kurang cenderung kemacetan di kayu hijau dari sisi flat parang. Goloks secara tradisional dibuat dengan kenyal baja karbon yang lebih lembut helai marah daripada pisau besar lainnya. Hal ini membuat mereka lebih mudah untuk berpakaian dan mempertajam di lapangan, meskipun lebih sering juga memerlukan perhatian.
Senjata : yang digunakan untuk membela diri adalah Pedang, Keris ”kehis”, Tumbak Lade dan Tombak ”kujur”.
Wadah : yang digunakan mengangkut padi : Bake, Behunang; untuk mengangkut kayu bakar : Kambu; Untuk menampi beras : Nihu; Untuk tempat ikan : Keruntung.
Alat-alat menyalakan api : Korek Api ”kusekan”
Makanan : masyarakat Lubai terdiri dari makan pokok : untuk memberikan tenaga dan nutrisi yaitu Nasi, Sayur Mayur dan makanan tambahan seperti Empek – empek. Burge, Rujak Tahu, Buah renggas dibuat dari bahan terigu dan buah pisang. Kue tradisional Lubai : Gule Kuje, Serangi, Gumak, Bole Kuje, Gandus, Engkak renggas, Rusip, Pede, Pengkasam;
Pakaian sehari-hari : disebut dengan pakaian kutan atau kehutan biasa pakaian ini khusus untuk pergi ke Ladang dan kebon Karet. Pakaian santai dirumah berupa kemeja dan celana seperti pakaian masyarakat Indonesia pada umumnya. Pakaian adat pengantin yang merupakan pakaian tradisional dipergunakan untuk acara pesta pernikahan.
Tempat berlindung : dan perumahan. Rumah adat Lubai : Rumah adat Lubai yaitu rumah berbentuk Limas yang merupakan ciri khas wilayah dari Kesultanan Palembang Darussalam. Rumah adat didirikan di atas panggung, berbentuk memanjang, yang biasanya pembangunan menggunakan Kayu Unglin dan Tembesu. Selain ditandai dengan atapnya yang berbentuk limas, rumah tradisional ini memiliki lantai bertingkat-tingkat yang disebut Bengkilas dan hanya dipergunakan untuk kepentingan keluarga seperti hajatan. Para tamu biasanya diterima di teras atau lantai kedua. Saat ini rumah limas sudah mulai jarang dibangun karena biaya pembuatannya lebih besar dibandingkan membangun rumah biasa. Selain rumah adat masyarakat Lubai membuat rumah panggung biasa dan membangun rumah semi permanent/permanent mengikuti gaya modern saat ini. Untuk tempat berteduh di Ladang dan Kebon karet masyarakat Lubai membuat Danggau dan punduk.
Alat-alat transportasi : Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan oleh manusia atau mesin. Transportasi digunakan untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Transportasi masyarakat Lubai dulu dibagi 2 yaitu ; transportasi darat dan transportasi sungai. Pada periode tahun 1950-1980 alat transportasi darat menggunakan sepeda dan alat transportasi sunggai menggunakan perahu. Pada periode tahun 1980-2008 alat transportasi darat menggunakan sepeda motor dan kendaraat roda empat.
Sistem Mata Pencaharian Hidup :
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: Berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang dan menangkap ikan. Periode tahun 1950-1980 masyarakat Lubai sebagian besar hidup dari tanahnya menjadi peladang yang berpindah, bercocok tanam Pisang, Ubi Kayu, berkebon Karet atau Para. Selain menjadi petani, sebagian lagi ada yang beternak Ayam. Berburu Rusa dan menangkap ikan di Sungai Lubai.
Pada periode tahun 1990-2008 di Kecamatan Lubai mayoritas masyarakat menjadi petani kebun Karet atau para. Sebagian lagi orang Lubai ada yang menanam Nanas dan Jeruk. Mata pencaharian penduduk yang lain, ada yang menjadi Guru, Pegawai Negeri Sipil, sub keagenan Getah Karet. Getah Karet ini biasanya oleh petani dijual setiap hari Rabu, kepada sub keagenan. Keagenen atau sering juga disebut tokeh Karet berada di Kota Prabumulih.
Sistem Kekerabatan :
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat.
Sistem kekerabatan tradisonal hubungan keturunan dalam masyarakat Lubai diperhitung kan menurut garis fatrilineal. Namun demikian saat ini sistem kekerabatan Lubai sebagai berikut :
Keanggotaan dalam sebuah Keluarga Inti (Nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah ”Bak”, Ibu ”Umak” dan anak-anak kandung, anak angkat maupun adopsi yang belum kawin, atau Ayah dengan anak-anak yang belum kawin atau Ibu dengan anak-anak yang belum kawin.
Keanggotaan dalam sebuah Keluarga Luas (Extended family), yaitu keluarga yang terdiri dari Ayah ”Bak”, Ibu ”Umak”, Anak-anak baik yang sudah kawin atau belum, Cucu ”Cucung”, Orang tua ”Jeme tue”, Mertua maupun kerabat-kerabat lain yang menjadi tanggungan kepala keluarga.
Keanggotaan dalam sebuah Keluarga Bilateral adalah dikenal dengan istilah Jurai atau gugok. Sejurai atau segugok berarti satu keturunan dari pihak Ayah ”Bak”. Sebutan untuk Anak Wak Laki-laki dan Paman ”Mamang ”Bapang dek beradek” Sebutan untuk Anak Wak Prempuan dan Tante ”Bibi ”Dek beradek Bak, kelawai muhanai” Harta warisan biasanya hanya didapat dari pihak Ayah.
Keanggotaan dalam sebuah Keluarga Unilateral adalah semua anggota Keluarga Bilateral ditambah dengan sanak keluargam dari pihak Ibu seperti Saudara Laki-laki Ibu, Saudara Prempuan Ibu, Kemenakan dari pihak Ibu, Wak, Paman dan Tante dari pihak Ibu.
Adat Perkawinan :
Jujur (Patrilineal) :
Ciri2nya : Eksogami klan, menikah dengan orang luar atau diluar klan. Patrilokal, isteri wajib mengikuti tempat kediaman suami. Ada barang jujur, barang yang berfungsi mengembalikan kesimbangan magis dan melepaskan perempuan dari ikatan hak dan kewajiban keluarga asal. Mempunyai nilai magis sekarang sudah berangsur2 diganti dengan uang.
Akibat hukum : putusnya hubungan hukum dengan keluarga biologis. Isteri masuk ke dalam keluarga suami, anak-anak yang lahir menarik garis keturunan dari garis ayah sehingga ia se-klan dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.
Perkawinan Levirat (janda turun ranjang). Yaitu perkawinan antara Janda yang menikah dengan saudara almarhum suaminya. Perkawinan Sororat (Duda turun ranjang). Yaitu perkawinan antara Duda yang menikah dengan saudara almarhum isterinya.
Semenda (Matrilineal) :
Ciri2nya : Eksogami klan, larangan kawin 1 klan. Matrilokal, isteri tidak wajib mengikuti tempat tinggal suami. Dijumpai pada setiap masyarakat adat (terutama minangkabau).
Dalam masyarakat patrilineal beralih-alih seperti halnya di Lubai, apabila terdapat keadaan memaksa misalnya anak-anaknya perempuan semua dalam kaitannya dengan masalah warisan-seharusnya yang menjadi ahli waris adalah anak laki-laki tertua, maka diperbolehkan kawin semenda dalam bahasa Lubai disebut ngambek anak. Karena adanya masalah kewarisan ini maka anak perempuan yang ada tidak boleh kawin jujur melainkan harus kawin semenda. Dengan demikian si anak perempuan akan tetap di keluarganya dan tidak akan pindah ke keluarga laki-laki seperti apabila dilakukan kawin jujur. Kemudian anak-anak yang lahir akan mengikuti garis keturunan dari ibunya.
Proses Pernikahan Adat Lubai :
Tahap pertama ritual pernikahan Adat Lubai adalah pihak keluarga mempelai pria melamar ke keluarga mempelai perempuan dengan membawa sejumlah persyaratan, di antaranya kebutuhan pokok yang diambil dari hasil bumi sendiri. Dalam prosesi ini, ada istilah "behantat bekendak" artinya menyerahkan tanda keinginan keluarga mempelai pria ingin menyunting mempelai wanita.
Tahap berikutnya adalah serah-serahan atau penyerahan barang bawaan yang menandai selesainya proses lamaran. Dalam serah-serahan tersebut pihak keluarga mempelai pria menyerahkan Dodol sebanyak 100 mukun, 150 mukun bahkan sampai 250 mukun dan Kue Gula Kelapa. Jika keadaannya memungkinkan, mempelai pria juga menyerahkan sejumlah uang kepada keluarga mempelai wanita sebagai tanda pengikat pernikahan.
Prosesi akad nikah : Mempelai Pria diiringi oleh rombongan keluarga mempelai pria, berkunjung kerumah mempelai wanita untuk meminta dilaksanakan akad nikah. Pada prosesi ini biasanya pihak keluarga mempelai pria membawa Jujur yaitu uang yang diminta si mempelai wanita dan dinah empat berupa Keris dan seperangkat alat makan sirih untuk diserahkan kepada keluarga mempelai wanita.
Organisasi Sosial :
Organisasi sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi sebagai sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan negara. Sebagai makhluk yang selalu hidup bersama-sama, manusia membentuk organisasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang tidak dapat mereka capai sendiri.
Desa orang Lubai : Komunitas Lubai, Desa yang dalam bahasa Lubai disebut Dusun. Desa di Lubai pada dasarnya tidak ada pembagian-pembagiannya seperti : Daerah kediaman utama yang merupa pusat dari desa dan Daerah peladangan. Desa di Lubai terdiri dari beberapa Kampung yang di pimpin oleh seorang Kepala Kampung. Untuk melestarikan adat istiadat di Lubai dibentuk Lembaga Pemangku Adat Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lubai biasanya untuk membedakan antara tempat tinggal utama di desa berupa Rumah dan di ladang berupa Dangau. Sebagian besar penduduk Lubai tinggal di Daerah Desa dan hanya pada waktu-waktu tertentu mereka pergi keladang dalam basah Lubai Ume.
Bahasa :
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat.
Menurut pengamatan penulis bahasa orang Lubai suatu bahasa yang erat hubungan dengan bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa melayu pada umumnya dicarikan padanannya dalam bahasa Lubai banyak sekali persamaanya. Contohnya : Sude "sude", Makan "makan", Minum “minum”, Sabar "sabar", Peluh "peluh", Kemane "kemane" Naik “naik” dan sebagainya masih terdapat banyak sekali kata-kata yang sama. Adapun perbedaan pengucapan seperti : Dakde “tidak ade”, Pedie “ape die”, Lapah “lapar”, Tuhun “turun”, Kebau “kerbau” dan sebagainya.
Stratifikasi Sosial :
Pelapisan sosial atau stratifikasi sosial (social stratification) adalah pembedaan atau pengelompokan para anggota masyarakat secara vertikal (bertingkat). Stratifikasi Sosial orang Lubai dapat ditinjau sebagai berikut :
Ukuran kekayaan : Kekayaan materi atau kebendaan dapat dijadikan ukuran penempatan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang ada, barang siapa memiliki kekayaan paling banyak mana ia akan termasuk lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial, demikian pula sebaliknya, barang siapa tidak mempunyai kekayaan akan digolong kan ke dalam lapisan yang rendah. Kekayaan orang Lubai dapat dilihat antara lain pada bentuk Rumah tempat tinggalnya; benda-benda tersier seperti kendaraan roda empat, kendaraan roda dua, lahan pertanian kebon Karet yang dimilikinya, cara berpakaiannya memakai busana yang mahal, mau pun kebiasaannya dalam berbelanja untuk keperluan hidup sehari-hari.
Ukuran kekuasaan dan wewenang : Seseorang yang mempunyai kekuasaan atau wewenang paling besar akan menempati lapisan teratas dalam sistem pelapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ukuran kekuasaan sering tidak lepas dari ukuran kekayaan, sebab orang yang kaya dalam masyarakat biasanya dapat menguasai orang-orang lain yang tidak kaya, atau sebaliknya, kekuasaan dan wewenang dapat mendatang kan kekayaan. Kekuasaan orang Lubai seperti menjadi Kepala Desa, Kepala Kampung, Tokoh masyarakat, Tokoh Adat, Tokoh Agama.
Ukuran kehormatan : Ukuran kehormatan dapat terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan atau kekuasaan. Orang-orang yang disegani atau dihormati akan menempati lapisan atas dari sistem pelapisan sosial masyarakatnya. Ukuran kehormatan ini sangat terasa pada masyarakat tradisional, biasanya mereka sangat menghormati orang-orang yang banyak jasanya kepada masyarakat, para orang tua ataupun orang-orang yang berprilaku dan berbudi luhur. Saat ini di Desa Jiwa Baru Kec. Lubai generasi mudanya semakin berkurang rasa hormatnya kepada orang usianya lebih tua, maupun kepada orang yang sepatutnya diberi rasa hormat. Contoh : pada periode tahun 1970-an jika yang muda berjumpa yang lebih tua, akan langsung menyapanya dan akan mencium tangannya.
Ukuran ilmu pengetahuan : sering dipakai oleh anggota-anggota masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang yang paling menguasai ilmu pengetahuan akan menempati lapisan tinggi dalam sistem pelapisan sosial masyarakat yang bersangkutan. Penguasaan ilmu pengetahuan ini biasanya terdapat dalam gelar-gelar akademik (kesarjanaan), atau profesi yang disandang oleh seseorang, misalnya dokter, insinyur, doktorandus, doktor ataupun gelar profesional seperti profesor. Masyarakat Lubai menempatkan gelar kesarjanaan sebagai lapisan masyarakat tinggi.
Kesenian :
Kesenian mengacu pada nilai keindahan (estetika) yang berasal dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan mata ataupun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
Tarian tradisonal Lubai : Serampang Duabelas, Tanggai; Seni Musik : Gitar tunggal dan betembang lagu daerah Lubai; Jeliheman : yaitu cerita rakyat Lubai.
Kehidupan beragama :
Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Kehidupan beragama orang Lubai cukup baik. Penduduk Kecamatan Lubai mayoritas menganut agama islam. Agama islam masuk ke Daerah Lubai telah ratusan tahun yang lalu, diperkirakan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam masih berkuasa dulu. Untuk memperdalami agama Islam orang Lubai ada yang belajar sampai ke negara Arab Saudi dan negara Mesir.
Dalam pandangan orang Lubai yang menganut agama Islam, kehidupan beragama tidak dapat dipisahkan dari manusia. Islam adalah agama yang diwahyukan untuk menjadi panduan hidup manusia. Hanya dengannya kehidupan di dunia menjadi sejahtera karena alam ini adalah ciptaan Allah taala, maka Allah lebih tahu apa yang sesuai untuk alam ini. Apabila manusia meninggalkan kehidupan beragama maka akan pastilah timbul kerusakan dalam kehidupan termasuklah penyakit sosial. Hidup secara Islam adalah sebahagian dari fitrah manusia. Ini dibuktikan dari firman Allah taala yang bermaksud: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Rum: 30)
Jika manusia meninggalkan kehidupan beragama maka ia telah meniggalkan fitrahnya yang akan mengakibatkan kerugian dalam kehidupannya. Salah satu keunikan ajaran Islam dalam membangun hubungan dengan antarumat beragama adalah kemampuannya menciptakan toleransi, kebebasan, keterbukaan, dan kewajaran. Dengan demikian, terwujud masyarakat yang harmonis, rukun, dan damai.
Kehidupan beragama bukan hanya relevan bagi masyarakat Lubai yang beragama Islam saja, akan tetapi juga masyarakat lain. Kita yakin bahwa nilai-nilai yang bersifat absolut yang terdapat dalam ajaran Kristen, Buddha dan Hindu mempunyai peranan dalam menjaga kesejahteraan masyarakat dari penyakit-penyakit sosial.
Bandar Lampung, 8 September 2009
Amarmakruf Silahturrahim Lubai
No comments:
Post a Comment