Definsi Pranata Sosial:
Menurut Koentjaraningrat (1979) yang dimaksud dengan pranata-pranata sosial adalah sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial pada hakikatnya bukan merupakan sesuatu yang bersifat empirik, karena sesuatu yang empirik unsur-unsur yang terdapat didalamnya selalu dapat dilihat dan diamati. Sedangkan pada pranata sosial unsur-unsur yang ada tidak semuanya mempunyai perwujudan fisik. Pranata sosial adalah sesuatu yang bersifat konsepsional, artinya bahwa eksistensinya hanya dapat ditangkap dan dipahami melalui sarana pikir, dan hanya dapat dibayangkan dalam imajinasi sebagai suatu konsep atau konstruksi pikir.
Unsur-unsur dalam pranata sosial bukanlah individu-individu manusianya itu, akan tetapi kedudukan-kedudukan yang ditempati oleh para individu itu beserta aturan tingkah lakunya. Dengan demikian pranata sosial merupakan bangunan atau konstruksi dari seperangkat peranan-peranan dan aturan-aturan tingkah laku yang terorganisir. Aturan tingkah laku tersebut dalam kajian sosiologi sering disebut dengan istilah “norma-norma sosial”.
Herkovits, mengatakan bahwa pranata sosial itu tidak lain adalah wujud dari respon-respon yang diformulasikan dan disistematisasikan dari segala kebutuhan hidup (1952: 229 dalam Harsojo, 1967 : 157). Hetzler (1929 : 67/68 dalam Harsojo, 1967 : 157) secara lebih rinci mendefinisikan pranata sosial itu sebagai satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting. Konsep-konsep itu berbentuk keharusan-keharusan dan kebiasaan, tradisi, dan peraturan. Secara individual paranta sosial itu mengambil bentuk berupa satu kebiasaan yang dikondisikan oleh individu di dalam kelompok, dan secara sosial pranata sosial itu merupakan suatu struktur. Kemudian Elwood (1925 : 90-91 dalam Harsojo, 1967 : 157), pranata sosial itu dapat juga dikatakan sebagai satu adat kebiasaan dalam kehidupan bersama yang mempunyai sanksi, yang disistematisasikan dan dibentuk oleh kewibawaan masyarakat. Pranata sosial yang penting adalah hak milik, perkawinan, religi, sistem hukum, sistem kekerabatan, dan edukasi (harsojo, 1967 : 158).
Pranata Sosial Masyarakat Lubai
Berdasarkan definsi diatas penulis akan membuat suatu kajian Pranata Sosial Masyarakat Lubai secara singkat sebagai berikut :
1. Hak Milik. Masyarakat Lubai sangat menjunjung tinggi hak milik : perorangan, keluarga, kekerabatan dan hak pedesaan. Hal ini dapat dimaklumi bahwa masyarakat Lubai adalah penganut agama islam yang baik. Hak milik tanah pekarang rumah, tanah peladangan, tanah perkebunan, hutan belukar, hutan rimba, balong atau tebat, dan danau; Seseorang yang mengaku hak milik orang lain, akan diangap tidak bermoral dan akan mendapat hukuman sosial dari masyarakat Lubai. Namun sayang seiring dengan waktu, peralihan generasi tua ke muda yang tidak berhasil menanamkan nilai-nilai moral yang baik seperti generasi sebelumnya, maka nilai-nilai moral yang luhur itu semakin terkikis dengan aura kematerian. Saat ini pengakuan terhadap hak milik itu mulai tidak nampak nyata, apalagi kalau pemilik itu sudah lama merantau, maka dapat saja hak milik itu berpindah hak kepemilikinya. Bahkan ada sebagian masyarakat Lubai menganggap hal itu wajar-wajar saja berpindahnya hak kepemilikan ini, karena sipemilik tidak mengurusnya lagi maka lahan itu dianggap lahan tak bertuan atau dianggap tidak bertuan.
2. Sistem Perkawinan. Masyakarakat Lubai dahulu mempunyai simbol-simbol adat istidat Sistem Perkawinan, yang harus dilaksanakan. Beberapa tahap yang harus dilalui seperti tahap perkenalan antara si bujang dengan si gadis, tahap betepek barang "memberikan suatu barang kepada pihak sigadis", tahap ngule "memberikan bantuan tenaga maupun bendah kepada keluarga pihak gadis", tahap memadukan rasan "utusan pihak sibujang bekunjung keluarga si gadis", tahap benghantat dudul "mengantar dodol permintaan sigadis", tahap mengantarkan uang permintaan si gadis dalam bahasa Lubai disebut "jujur" dan sebagainya. Pada masa kini kebanyakan perkawinan dan pembentukan keluarga adalah atas dasar cinta romantis. Perkembangan sistem pendidikan modern dan proses informasi yang mudah didapat menyebabkan muda mudi Lubai bebas mencari jodoh sendiri. Campur tangan ibu bapa, agak minimal, kalau ada pun dalam urusan peminangan dan pelaksanaan perkawinan sahaja yang dilakukan mengikut ketetapan adat. Oleh karena bebas mencari jodoh sendiri, faktor-faktor seperti ikatan kekeluargaan, latar belakang keluarga, kedudukan ekonomi dan taraf sosial keluarga, dan lain-lain bukan lagi menjadi pertimbangan utama dalam pemilihan jodoh.
3. Religi dahulu masyarakat Lubai sangat taat terhadap ajaran islam. Rajin menjalan perintah Allah yaitu rukun islam dan mengaplikasinya pada kehidupan sehari-harinya. Seperti sholat, berpuasa bulan Ramadhan, membayar zakat pertanian sehabis panen, menunai ibadah Haji. Menjauhi larangan Allah seperti : tidak boleh mengakui hak milik orang lain, karena dalam ajaran agama islam seseorang mengakui atau mengambil manfaat sesuatu benda milik orang lain tanpa izin merupakan perbuatan mungkar. Saat ini berdasarkan yang dialami keluarga penulis beberapa puluh hektar tanah yang telah dimanfaat oleh pihak lain, tanpa izin dari kami sekeluarga. Apakah yang melakukan ini masih mengangap bahwa dirinya adalah manusia yang menjalankan agama islam secara baik dan benar atau manusia religi.
4. Sistem hukum dahulu dikenal dengan adanya hukum Marga Lubai, Ayahanda penulis merupakan salah satu dari tokoh masyarakat Lubai yang pernah menjadi Anggota Dewan Marga Lubai Suku I. Pada saat itu beberapa hukum adat baik yang tertulis maupun tidak dapat berjalan sebagaiman mestinya. Saat ini hukum adat sudah semakin kurang kekuatannya. Lembaga Adat hanya merupakan simbol bahwa adat istiadat Lubai harus dilestarikan. Kewajiban harus melaporkan kepada lembaga adat jika akan melaksanakan pernikahan, akan tetapi Lembaga Adat tidak dapat memberikan sanksi hukum terhadap seseorang yang tidak melaporkan perihal pernikahan.
5. Sistem kekerabatan masyarakat Lubai dahulu sangat terstuktur bahwa masyarakat Lubai menganut sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan pihak ayah. Dalam bahasa Lubai khususnya masyarakat desa Jiwa Baru Lubai disebut Guguk atau Jurai. Guguk Pengiran merupakan kaum bangsawan merupakan kelompok masyarakat kedudukannya tertinggi, guguk penghulu merupakan kaum keturunan tokoh agama islam, guguk kurungan lembak/guguk brak "keturunan puyang Lebi", guguk kurungan dahat "keturunan puyang tande". Untuk memanggil adik Ayah yang prempuan dipanggil dengan "Ibungan", adik Ibu yang prempuan dipanggil dengan "Bibi", sebutan isteri paman dipanggil Munting, dansebaginya. Seorang menantu selain memanggil Ayah dan Ibu (bahase Lubai Bak dan Umak) kepada orang suaminya/isterinya maka terhadap paman/bibi /uak dipanggil dengan sebutan yang sama yaitu Bak atau Umak. Sistem kekerabatan masyarakat Lubai saat ini, tidak jelas apakah menganut system kekerabatan patrilineal “kekerabatan pihak ayah” system kekerabatan matrilineal “kekerabatan pihak ibu” atau bahkan ada yang menganut kedua system ini.
6. Edukasi atau sistem pendidikan. Masyarakat Lubai menggangap sistem pendidikan ini sangat penting. Dari periode zaman penjajahan Belanda pendidikan formal ini anak masyarakat biasa hanya sampai dengan pendidikan Sekolah Rakyat ”SR” dan anak seorang Depati atau adipati dapat melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Periode awal kemerdekaan sampai dengan sekarang pendidikan formal telah banyak di ikuti oleh anak-anak masyarakat Lubai dari jenjang pendidikan dasar, menengah dan tinggi. Untuk pendidikan non formal masyarakat Lubai mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh tokoh adat untuk ketrampilan kesenian dan adat istiadat; Kegiatan diselenggarakan oleh tokoh agama untuk ketrampilan membaca Al Qur’an dan pembentukan akhlak karimah; Kegiatan diselenggarakan oleh tokoh masyarakat untuk ketrampilan pertanian Karet yang unggul. Untuk pendidikan in formal masyarakat Lubai melaksanakan sesuai dengan adat istiadat yang ada saat ini.
Kesimpulan :
Pranata Sosial Masyarakat Lubai sebagai berikut :
1. Masyarakat Lubai tidak lagi menjunjung tinggi hak milik : perorangan, keluarga, kekerabatan dan hak pedesaan. Hal ini tercermin dari banyaknya hak milik perantau yang berpindah tangan hak kepemilikan atau hak memperoleh manfaatnya;
2. Sistem Perkawinan masyakarakat Lubai semakin menghilangkan simbol-simbol adat istidat. Hal ini dikarenakan mengikuti gaya kekinian, sehingga simbol-simbol adat banyak dianggap tidak efisien dan efektif;
3. Religi dahulu masyarakat Lubai semakin menurun ketaatan terhadap ajaran islam;
4. Sistem hukum masyarakat Lubai, hanya merupakan simbol belaka;
5. Sistem kekerabatan masyarakat Lubai, tidak jelas! Apakah menganut system kekerabatan patrilineal “kekerabatan pihak ayah” system kekerabatan matrilineal “kekerabatan pihak ibu” atau bahkan ada yang menganut kedua system ini;
6. Edukasi atau sistem pendidikan Masyarakat Lubai, Pendidikan formal cukup baik, akan tetapi sistem pendidikan in formal atau pendidikan keluarga semakin kurang kualitasnya. Saat ini keluarga di Lubai lebih mengutama mencari materi daripada kepuasan imateri, sehingga pesan-pesan moral kepada genersi mudah semakin tidak berjalan dengan baik.
sumber tulisan: klik ini
No comments:
Post a Comment